NIM : GAC 113 091
STUDY : ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
( P A L A N G K A R A Y A )
( P A L A N G K A R A Y A )
SEJARAH PROSES TERBENTUKNYA
KALIMANTAN TENGAH
( PALANGKARAYA )
Kalimantan Tengah adalah salah
sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya
adalah Kota Palangka Raya. Kalimantan Tengah memiliki luas 157.983 km² dan
berpenduduk sekitar 2.202.599 jiwa, yang terdiri atas 1.147.878 laki-laki dan
1.054.721 perempuan.
Pada abad
ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa
(Amuntai) dengan wilayah mandalanya dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting
dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong,
Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju
Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang yang kepala
daerah-daerah tersebut disebut Mantri Sakai, sedangkan wilayah Kotawaringin
pada masa itu merupakan kerajaan tersendiri.
Selanjutnya
Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar, penerus
Negara Dipa. Pada abad ke-16, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang
beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang puteri Dayak anak Patih Rumbih dari
Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi di istana Banjar,
bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai Biang
Lawai bernama Panglima Sorang (Nanang Sarang) membantu Raja Maruhum menumpas
pemberontakan anak-anak Kiai Di Podok, demikian juga di masa Pangeran Suryanata
II (Sultan Agung). Raja Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di
negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu
Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang
pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah
suami dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri
Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat
dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri Lanting. Pangeran Amas yang
bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi raja Kotawaringin, penggantinya
berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma
Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan VOC-Belanda terjadi pada tahun
1637. Menurut laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat pemerintahan
pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya kepala daerah Mendawai, Kyai Ingebai
Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden Jaya kepala daerah Pembuang dan kerajaan
Kotawaringin dengan rajanya yang bergelar Ratu Kota Ringin.
Bahwa
Penciptaan Jagat Raya adalah awal serta asal usul dari Karya RANYING HATALLA (Tuhan Yang Maha Esa) yang berkenaan dengan
penciptaan manusia, Disebutkan, nenek moyang berasal dari “alam atas”
diturunkan ke bumi. Negeri asal dari alam atas (langit) bernama Lewu Nindan
Tarung, sedangkan tempat mula pertama di bumi disebut bernama Lewu Pantai Danum
Kalunen.
Tersebutlah
pasangan suami-isteri (pasutri) Manyamei Tunggal Garing Janjahunan Laut –
Kameloh Putak Bulau Janjulen Karangan (untuk selanjutnya nama pasutri itu
disingkat dan disebut : sang suami Manyamei dan istri disebut Kameloh atau
Putir / Putri saja. Demikianlah pasutri Manyamei dan Putir/Kameloh berputra
laki-laki semua kembar tiga, yang tertua bernama Maharaja Sangiang„ yang tengah
bernama Maharaja Sangen dan yang bungsu bernama Maharaja Bunu (mengenai nama
tiga kembar itu, pihak Majelis Agama Kaharingan, tidak menggunakan Maharaja,
tapi Raja Sangiang, Raja Sangen dan Raja Bunu).
Nenek
Moyang. Arkian tersebutlah Maharaja (Raja) Bunu atas ketentuan Ranying Hatalla
diturunkan ke bumi (dunia) menjadi nenek moyang manusia (manusia Dayak
Kalimantan Tengah). Di Bumi dipilih untuk tempat tinggal Maharaja (Raja) Bunu
yakni Bukit Samatuan, dari situlah keturunannya menyebar mengisi muka bumi. Maharaja
Bunu yang diturunkan ke bumi itu memakai kendaraan angkasa yang disebut dengan
nama Palangka Bulau Lambayung Nyahu,
nelun bulau namburak ije sambang garantung, secara singkat disebut Palangka
Bulau saja.
Palangka
Bulau dilengkapi dengan muatan bekal baik sarana dan segala keperluan hidup
seperti semua perkakas/peralatan bercocok tanam, berburu, perkakas/ peralatan
membuat senjata, bibit padi disebut parei-behas, behas parei nyangen tingang
pulut lumpung penyang, bibit buah-buahan/tetumbuhan, bibit ternak/satwa.
Parei Behas (Padi Beras) yang merupakan bahan makanan pokok (nasi) sekaligus menjadi tambahan darah daging yang menghidupkan, dan beras (behas) juga dapat digunakan sebagai sarana secara ritual komunikasi (behas tawur).
Parei Behas (Padi Beras) yang merupakan bahan makanan pokok (nasi) sekaligus menjadi tambahan darah daging yang menghidupkan, dan beras (behas) juga dapat digunakan sebagai sarana secara ritual komunikasi (behas tawur).
1.
Palangka Bulau Palangka,
dalam
konteks kendaraan angkasa yang memang atas perintah Ranying Hatalla digunakan
untuk “mengantar” Maharaja Bunu ke bumi adalah wahana besar (kendaraan besar),
oleh Hardeland dikatakan : “Palangka, ein Gestell, fast in der Form einer
Bestell, …ein Gestell vorn in einem Boote …. “ (Dr Aug. Hardeland :
Dajack-Deutaches Worterbuch – 1859 halaman 401). Sebagai wahana angkasa, maka
berarti juga Palangka adalah wadah atau tempat, dan itu berarti adalah kata
benda yang berdiri sendiri.
2.
Bulau,
Artinya
emas. Dalam Bahasa Dayak Ngaju, emas, intan dan perak adalah logam mulia
menjadi harta kekayaan yang tertinggi nilai nya yang disebut panatau panuhan,
sedangkan emas, intan dan perak disebut singkat bulau salaka, artinya logam
mulia yang sangat berharga yang tinggi nilainya. Dalam konteks religi Suku
Dayak Ngaju, sorga-loka atau sorgawi tempat tinggal terakhir kediaman manusia
bersama Ranying Hatalla yang sangat suci, mulia dan besar. Oleh Hanteran digambarkan
negeri sorgawi itu sebagai : habusung Intan, habaras Bulau, hakarangan Lamiang,
maksudnya bahwa indahnya sorga itu tiada taranya, adanya kehidupan yang suci
dan mulia di bawah naungan Ranying Hatalla (Tuhan Yang Maha Suci, Maha-esa dan
Maha-kuasa, penuh kedamaian dan penuh Ke Agungan. Keadaan dan suasana surgawi
yang demikian disingkat dan disimpulkan sebagai hal RAYA, sebagaimana disebut
oleh Hanteran.
Perkataan (entri) RAYA pada Kamus Dwibahasa Dayak Ngaju – Indonesia disebutkan artinya : besar sekali, akbar (lihat Albert A.Bingan – Offeny A. Ibrahim: Kamus Dwibahasa Dayak Ngaju – Indonesia, cetakan ke-2 halaman 260).
Perkataan (entri) RAYA pada Kamus Dwibahasa Dayak Ngaju – Indonesia disebutkan artinya : besar sekali, akbar (lihat Albert A.Bingan – Offeny A. Ibrahim: Kamus Dwibahasa Dayak Ngaju – Indonesia, cetakan ke-2 halaman 260).
3.
Palangka
Bulau
Pembentukan
Provinsi Kalimantan Tengah, Panitia Mencari Tempat dan Pemberian Nama Ibukota
dan arahan pemikiran Gubernur Pembentuk Provinsi Kalimantan Tengah RTA Milono
yang menetapkan nama PALANGKA RAYA
bagi Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Penulisannya terpisah, bukan
digabungkan (bukan ditulis serangkai). Dan Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah
Palangka Raya dicantumkan pada pasal 2 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 1958 tentang penetapan UUDrt Nomor 10 Tahun 1957. Memang pada ayat (1) pasal 2 UU No. 21 Tahun 1958
tertulis Palangkaraya, itu merupakan suatu friksi diuraikan kemudian di bawah
nanti. Dan dari semula penulisan nama Ibukota Kalimantan Tengah Palangka Raya,
adalah ditulis terpisah, jadi bukan ditulis serangkai.
Rumah
Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru
Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat
pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi
suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti
pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman
penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya
berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil
ladang, kebun maupun ternak).
Bentuk
dan besar rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang
mencapai panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di
bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari
tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini saya perkirakan untuk menghindari
datangnya banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu
sungai di Kalimantan. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih
dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian
tersebut. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di
sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya
suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu
untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak
antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.
Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak,
sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang
Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan
sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu
dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan
bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan
kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk
mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang
adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya,
terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui
bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak
menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial. Tetapi pada masa sekarang pun banyak
orang luar (bahkan orang Indonesia sendiri) beranggapan bahwa suku Dayak adalah
suku yang tertutup, individual, kasar dan biadab. Sebenarnya hal ini merupakan
suatu kebohongan besar yang diciptakan oleh para colonial Belanda waktu masa
perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk memecah belah persatuan dan kesatuan
terutama di antara suku Dayak sendiri yang pada saat itu menjunjung tinggi
budaya rumah Betang.
Rumah betang mempunyai ciri-ciri yaitu; bentuk Panggung, memanjang.
Pada suku Dayak tertentu, pembuatan rumah panjang bagian hulunya haruslah
searah dengan Matahari terbit dan sebelah hilirnya ke arah Matahari terbenam,
sebagai simbol kerja-keras untuk bertahan hidup mulai dari Matahari tumbuh dan
pulang ke rumah di Matahari padam.
Di Kabupaten Kapuas, Kalimantan
Tengah, rumah betang sudah tidak ada yang asli lagi, yang ada adalah yang sudah
dibangun ulang. Di bagian paling hulu, rumah betang yang dibangun kembali ada
di Desa Tumbang
Bukoi, Kecamatan Mandau Talawang. Di bagian
hilir, rumah betang yang dibangun kembali ada di Desa Sei
Pasah, Kecamatan Kapuas Hilir. Bangunan
ini dibangun tidak jauh dari rumah betang asli yang sudah runtuh, tapi masih
ada sisa-sisa tiangnya.
Di Kabupaten Pulang Pisau,
Kalimantan Tengah ada rumah betang asli yang dibangun sejak tahun 1870.
Letaknya di Desa Buntoi, Kecamatan Kahayan Hilir. Rumah ini menghadap Sungai
Kahayan dan memiliki pelabuhan yang siap menyambut kedatangan wisatawan melalui
sungai.
Adapun macam-macam senjata tradisional masyarakat dayak, yaitu :
Sumpit dan anak sumpit
Bagian pangkal sumpit biasanya lebih besar dan pada
bagian inilah anak sumpit dimasukkan lalu ditiup. Antara Buluh sumpit dan anak
sumpit memiliki ketergantungan yang tinggi (saling mendukung). Walaupun
buluhnya bagus tetapi anak sumpit dibuat sembarangan maka hasilnya juga kurang
memuaskan serta sebaliknya. Artinya kedua saling beperan penting dalam
ketepatan mengenai sasaran/mangsa walaupun juga napas penyumpit serta kemahiran
juga sangat berperan penting disini. Untuk mencapai sasaran yang tepat dan kuat
bernapas, panjang sumpit harus sesuai dengan tinggi badan orang yang
menggunakannya, Bagian yang paling penting dari sumpitan, selain batang sumpit,
yaitu pelurunya atau anak sumpitnya yang disebut damek. Ujung anak sumpit
runcing, sedang bagian pangkal belakang ada semacam gabus dan sejenis dahan pohon
agar anak sumpit melayang saat menuju sasaran. Racun damek oleh etnis Dayak
Lundayeh disebut parir. Racun yang sangat mematikan ini merupakan campuran dari
berbagai getah pohon, ramuan tumbuhan serta bisa binatang seperti ular dan
kalajengking.
2.
Suling balawung
suling
balawung merupakan pembuktian bahwa apresiasi kedudukan wanita dalam masyarakat
dayak bukan lah hanya isapan jempol semata ini di butikan dengan penghargaan tertinggi
terhadap peran kaum wanita dayak turut di berikan dalam aspek apresiasi
bermusik yang
menciptakan suling balawung sebagai bentuk suling khusus bagi perempuan dayak.
menciptakan suling balawung sebagai bentuk suling khusus bagi perempuan dayak.
3.
Karungut
menurut
kepercayaan suku dayak di kalimantan tengah , pada jaman dahulu manusia di
turunkan dari langit bersamaan palangka bulau ( tetek tatum ). pada waktu
berada di bumi paangka bulau adalah alat untuk menurunkan manusia dari langit
ke bumi oleh ranying hatalla langit atau dewa para petinggi suku dayak . maka ,
dari itulah mulai adanya alunan suara atau tembang-tembang. maka sejak itulah
karungut muncul.bahasa yang digunakan dalam karungut adalah bahasa sangiang
atau sejenis bahasa dayak ngaju. yang sangat tinggi sastra nya di gunakan dalam
upacara adat dan berkomunikasi dengan roh halus. dalam kehidupan masyarakat
dayak dalam melasanakan upacara khususnya upacara adat, keagamaan, perkawinan,
dan syukuran selalu di warnai dengan kegiatan kesenian seperti tari manasai
karungut, karunya, tandak mandau dan deder.
Seni musik di Kalimantan Tengah :
1.
Mansana
Kayau
Mansana Kayau ialah kisah
kepahlawanan yang dilagukan kembali. Biasanya dinyanyikan bersahut – sahutan
dua sampai empat orang baik perempuan maupun laki – laki
2.
Mansana
Kayau Pulang
Mansana Kayau Pulang ialah kisah yang
dinyanyikan paa waktu malam sebelum tidur oleh para orang tua kepada anak dan
cucunya dengan aksud membakar semangat anak turunannya untuk membalas dendam
kepada Tambun Baputi yang telah membunuh nenek moyang mereka.
3.
Karungut
Karungut adalah semacam sastra lisan nusantara untuk
Kalimantan Tengah, atau sama dengan Madihin kalau di Kalimantan Selatan, dan
kalau di Jawa Tengah disebut mocopat.
Karungut juga bias disebut sebagai pantun yang
dilagukan. Dalam berbagai acara, karungut sering dilantunkan, misalnya pada
acara penyambutan tamu yang dihormati. Salah satu ekspresi kegembiraan dan rasa
bahagia diungkapkan dalam bentuk karungut. Terkadang ditemukan perulangan kata
pada akhir kalimat.
Untuk mengamati cara tutur orang Dayak dalam
mengekspresikan perasaan mereka, maka terjemahan kedalam bahasa Indonesia
dibuat sebagaimana adanya kata per kata.
Karungut tersebut dipakai sebagai alat oleh ibu-ibu
untuk menidurkan anak-anaknya dengan cara bernyanyi dan bersenandung.
Kesenian Karungut juga digunakan untuk hajatan
misalnya untuk upacara perkawinan, khitanan, upacara pemakaman, penyambutan
tamu, hari ulang tahun, ulang tahun kantor, bahkan sekarang digunakan kampanye
pilkada.
Jumlah kelompok Karungut di Palangkaraya cukup besar
yaitu ada 62 kelompok, oLeh karena itu kelompok tersebut mempunyai potensi
besar dalam menyampaikan pesan-pesan informasi publik, pesan-pesan yang
disampaikan paling banyak pesan moral.
Mengingat potensi Karungut penting sebagai media
informasi publik, perlu perhatian pemerintah pusat maupun daerah untuk
pengembangan, dan perlu dijalin hubungan yang baik antara seniman-seniman
Karungut dengan para pengusaha setempat untuk kerjasama promosi.
4.
Mohing
Asang
Mohing Asang ialah nyanyian perang.
Bila Pangkalima tlah membunyikan Selentak tujuh kali kemudian terdengar
nyanyian mohing Asang, itu berarti suatu perintah untuk maju.
Salah satu Mohing Asang yang
merupakan komando pangkalima perang yang menggunakan bahasa Ot Danom dengan
dialek Siang Murung.
5.
Ngendau
Ngendau ialah senda gurau yang
dilagukan. Biasanya dilakukan oleh para remaja laki – laki ataupun perempuan
dan bersahut – sahutan.
6.
Kalalai-lalai
Kalalai – lalai ialah nyanyian yang
disertai tari – tarian Suku Dayak Mama di daerah Kotawaringin
7.
Natum
Natum adalah kisah sejarah masa lalu
yang dilagukan
8.
Natum
pangpangal
Natum Pangpangal adalah ratap tangis
kesedihan pada saat terjadi kematian anggota keluarga yang dilagukan.
9.
Dodoi
Dodoi adalah nyanyian ketika sedang
berkayuh diperahu atau dirakit.
10.
Marung
Marung adalah nyanyian pada saat
upacara atau pesta besar dan meriah pada budaya Kalimantan Tengah ini
11.
Dondong
Dondong adalah nyanyian pada saat
menanam padi dan memotong padi di desa.
12.
Ngandan
Ngandan ialah nyanyian yang
dinyanyikan oleh pada lanjut usia yang ditunjukan kepada generasi muda sebagai pujian,
sanjungan dan kasih saying yang diberikan kepada mereka.
Menurut pendapat saya tentang Dayakologi..!!
Dayak adalah kumpulan berbagai
sub etnis yang dianggap sebagai penduduk asli yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih
tepat lagi adalah yang memiliki budaya sungai dimasa sekarang yaitu setelah
berkembangnya agama Islam di Borneo, sebelumnya Budaya masyarakat Dayak adalah
Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai
arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai,
terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. Dalam melangsungkan
dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan,
atau dengan kata lain hutan yang berada di sekeliling mereka merupakan bagian
dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tergantung dari
hasil hutan. Kegiatan sosial ekonomi orang Dayak meliputi mengumpulkan hasil
hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi, lada, karet,
kelapa, buah-buah dan lain-lain, serta kegiatan berladang. Kecenderungan
seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksi dari hubungan akrab
yang telah berlangsung selama berabad-abad dengan hutan dan segala
isinya.Hubungan antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal
balik. Disatu pihak alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan
budaya orang Dayak, dilain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan
sesuai dengan pola budaya yang dianutnya.